Pembiasan dari Sebuah Kepedulian – Bagi sebagian orang
tentu rasa peduli sesama menjadi sebuah keharusan yang mutlak dimiliki. Namun,
disadari atau tidak, seiring dengan perkembangan zaman yang telah maju dengan
teknologi yang tidak dapat dibendung, membuat rasa peduli itu seakan hanya
menjadi sebuah rasa yang ada tetapi keras layaknya batu. Memikirkan sebuah rasa
peduli yang ada di dalam hati tidak dapat dinalar melalui logika. Sejatinya,
rasa peduli itu hanya dimiliki oleh jiwa yang tenang dan fokus pada perbuatan
yang baik. Mungkin cerita ini akan membuka rasa peduli kita semua yang secara
tidak sadar mulai rapuh oleh keegoisan dan ketakutan yang tidak mendasar.
Cerita ini bersumber dari teman saya, bisa kita sebut dengan
nama Dul (nama asli saya samarkan). Dul merupakan seorang lulusan baru di sebuah
universitas yang ada di Jakarta. Ia saat ini menjadi guru di sebuah sekolah di
Bekasi. Sore itu, setelah ia pulang mengajar ia melihat sebuah kecelakaan
tragis. Sebuah sepeda motor yang saling bertabrakan. Bukan tabrakan biasa, entah
bagaimana kejadian itu, jelasnya sepeda motor tersebut berlari dengan kecepatan
tinggi dan menabrak sepeda motor lainnya. Seketika, kedua pengendara itu
tabrakan. Pengendara di motor pertama tidak terluka parah, namun pengendara di
motor kedua terluka parah. Wajahnya bercucuran darah. Kakinya pun tidak bisa
dipakai untuk berjalan.
Mungkin sudah menjadi adat bagi orang-orang yang kurang rasa
pedulinya. Dul heran. Iya, Dul merasa heran dengan orang-orang yang melihat
kejadian itu. Hanya menatap diam. Bahasa Belandanya “bengong”, atau mungkin
bahasa Koreanya “ndlongop”. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Dul, berinisiatif
mengantarkan pengendara itu ke klinik, kemudian menelpon orang tuanya. Keheranan
Dul belum berakhir sampai di sini. Setelah kembali dari klinik, Dul ditanyai
oleh beberapa orang apakah Dul anggota keluarga dari si pengendara tersebut?.
Dul menjawab, “Tidak, saya Cuma kasihan sama orang itu.” Ya, jawaban yang sangat
simpel dan membutuhkan konsentrasi tinggi. Simpel namun butuh konsentrasi? Ya
tentu. Dul telah berhasil mengalahkan ego dan ambisi dalam pikirannya dengan
hati yang tulus. Seseorang tidak mungkin bisa meredam ego dan ambisinya jika
tidak memiliki konsentrasi yang kuat untuk mengendalikannya.
Cerita tentang Dul menjadi sebuah gambaran untuk saya (semoga
juga untuk para pembaca blog ini) betapa pentingnya rasa peduli antarsesama.
Banyak yang menggembar-gemborkan pentingnya peduli ini itu. Dul, sudah
membuktikan bahwa kepedulian itu tidak bisa ditunjukkan dengan sebuah pemahaman.
Kepedulian hanya bisa dilakukan dengan tindakan. Semoga saja masih banyak Dul
Dul yang lain di Indonesia.
Terima kasih telah meluangkan waktu untuk mengunjungi blog ini
dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca yang baik ialah pembaca yang selalu memberikan komentar dalam bentuk kritik dan saran untuk kebaikan blog ini