Judulnya
memang tidak lazim dari beberapa artikel yang sudah aku buat sebelumnya. Memang
khusus kali ini, aku peruntukkan bagi perjalanan pulang kampungku ke Jawa
Timur. Bertepatan dengan libur panjang Natal dan tahun baru di penghujung 2015,
aku dan keluargaku pulang. Ya, benar, pulang menjemput secercah kenangan untuk
sekadar menuangkan air mata yang sudah lama kering. Kebahagiaan bukan tanpa
alasan. Masalahnya, kepulanganku kali ini bertepatan dengan acara reuni
keluarga besar Sowintanan. Bagi seorang Blogger sepertiku ini tentu tidak akan
menuliskan sebuah tulisan yang tidak ada manfaat bagi orang lain. Oleh
karenanya, tulisan ini pun sekiranya dapat memberikan manfaat bagi orang yang
akan membacanya nanti.
Oke,
tanpa perlu berlama-lama aku akan berusaha menjabarkan perjalanan menjemput air
mata yang sudah lama tidak menetes. Entah ada alasan atau ajian apa yang sedang
menggelayuti setiap jari yang aku hntak untuk beradu dengan keyboard di
laptopku ini sehingga tulisan bisa begitu saja mengalir dengan derasnya. Ada
benarnya jika orang berkata bahwa di kampung halaman itu hanya untuk mengenang.
Ya, mengenang. Mengenang segala keindahan, tawa, canda, suka, cita, bahkan
kesedihan. Perjalananku memang tidak lama, hanya 4 hari dan bagiku sangat jauh
dari rasa puas. Mengapa? Di kampung halamaku, Rowokangkung, Kabupaten Lumajang,
Jawa Timur ini banyak sekali rumah Pakde dan Bude yang memang harus aku inapkan
rumahnya. Maklum saja ayahku punya 11 saudara dan ibuku punya 5 saudara.
Praktis membuat satu dan lainnya menginginkan aku untuk sekadar minum teh.
Anehnya,
ketika aku pulang ke kampung halamanku ini yang dicari ialah kakak kandungku.
Namanya Ludy namun punya panggilan akrab Cilud. Berbeda dengan aku yang namanya
Tedy kemudian terkenal di kalangan saudara dengan sebutan nama Ryan (so what?
namanya pasaran banget). Terlepas dari itu, Pakde dan Bude memang sudah sangat
rindu kepada kakakku. Ya, ia terkenal dengan sifat pendiam dan susah untuk
berkenalan dengan orang yang baru dikenalnya. Mungkin, sifat itu yang disenangi
dengan Pakde dan Bude aku. Sangat berbeda dengan sifatku yang bisa kalian
tafsirkan sendiri dalam tulisan ini nanti.
Hari pertama, Kamis 24 Desember
2015
Kamis
ini bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, dan kami sekeluarga memutuskan
untuk berangkat ke kampung halaman. Kami menjatuhkan pilihan pada kereta api
Gumarang. Kamu bisa bayangkan bagaimana padatnya stasiun ketika musim liburan
tiba. Tidak perlu aku gambarkan dalam tulisan ini. Jelasnya, kemampuan fisik
mutlak dibutuhkan untuk berjejal mengantre masuk ke dalam peron stasiun.
Perjalanan di dalam kereta pun layaknya orang-orang yang sudah banyak
menceritakan pengalamannya di blog atau pun di media sosial lainnya. Hanya ada
satu momen di mana ayahku terancam untuk diturunkan dari kereta
(alhamdulillah). Lho kenapa malah bersyukur? Jelas lah, kan di kereta itu
dilarang untuk mengunyah rokok (menghisap masih dalam batas wajar), lah ini
nekat tetap melanggar peraturan itu. Jadilah sudah ayahku ditegur oleh petugas
dan diancam akan diturunkan paksa di stasiun terdekat. (horeee kapok kon ndaki udud).
Hari kedua, Jumat 25 Desember 2015
Berapa
lama perjalanan dari Jakarta ke Rowokangkung, Lumajang? Jawabannya jangan pakai
indikator waktu, tapi menggunakan indikator jadwal shalat. Jika menggunakan
kereta seperti kami, jawabannya simpel yakni dari azan Ashar ketemu azan Zuhur.
Sebentar bukan? (inget dari Ashar ke Zuhur bukan dari Zuhur ke Ashar). Kereta
Gumarang itu hanya sampai di Stasiun Surabaya Pasar Turi. Apakah sudah dekat
menuju Lumajang? Oh tentu tidak. Masih ada 4 jam perjalanan lagi menuju
Lumajang. (hanya orang sakti yang bilang Lumajang itu dekat dari Surabaya). Kami
samapi di Surabaya jam 4 pagi dan melanjutkan ke Lumajang menggunakan travel.
Kami sempat mampir sarapan di daerah Nguling, Kabupaten Probolinggo, sebelum
akhirnya sampai di tempat reuni jam 9 pagi. Kami disambut oleh tuan rumah yakni
Pakde Wajib dan Bude Sri. Ini memang biasa terjadi, aku bertemu dengan
keponakanku, Bayu yang sekarang sudah kelas 3 SMK dan Nabil yang duduk di kelas
5 SD. Keduanya tidak banyak berubah baik dari sifatnya lebih-lebih. Tak lama
berselang setelah shalat Jumat, aku bertemu dengan kakak sepupuku, Chandra
Wahyu, seorang perawat yang sedang menempuh studi D3-nya di akademi
keperawatan. Sorenya aku menyempatkan untuk berkeliling kampung halaman.
Kebetulan ayah dan ibuku merupakan orang dari kecamatan yang sama. Jadi, tidak
terlalu jauh untuk berkunjung dari satu rumah ke rumah lain. Bertemu dengan
Neza, Angwin, Mas Toni, Mbak Nimas, Dina, Fajar, Icha, dan Intan. Semuanya
membuatku rindu dan aku tetap berusaha menjaga air mata agar tetap hangat di
pelabuhannya. Sore itu hujan turun dengan derasnya, mungkin pertanda bahwa
berkah reuni yang akan diadakan Sabtu dan Minggu dijawab oleh Tuhan penguasa
alam. Hingga malamnya pun, aku bersama Bayu dan Mas Nanang juga Mbak Kris
mengantar Mbak Candra untuk dinas di RSUD Lumajang. Setelah mengantar, kami
mampir ke pasar untuk membeli kebutuhan yang akan digunakan untuk reuni
esoknya. Lamanya bukan main, aku berusaha menahan lapar dan dahaga sebelum
akhirnya kami pulang dan mengakhiri perjalanan hari ini dengan mata tertutup.
Hari ketiga, Sabtu 26 Desember 2015
Hari
ketiga ini merupakan hari pertama reuni dengan agenda pengajian dan
menghadiahkan doa bagi para leluhur kami. Sebelumnya, aku dan keluargaku (ayah
dan ibu) berangkat ke pusat kota untuk mencari oleh-oleh. Wah, bukan main
letihnya, mulai dari keripik pisang, suwar suwir, brem, hingga VCD lagu
banyuwangian dan dangdut koplo menjadi hadiah kami. Kami berangkat dari pagi
hingga siang hari mencari oleh-oleh untuk diberikan pada kerabat di Jakarta.
Pulangnya kami menjemput saudara Mas Nanang dari Tulungagung yakni ibu dari Mas
Nanang dan keponakannya, Sukma. Beruntung aku termasuk orang yang berani dan
tidak tahu malu. Meski baru pertama kali bertemu dengan ibu dari Mas Nanang dan
Sukma, aku berani untuk langsung membuka pembicaraan. Diketahui bahwa Sukma
duduk di kelas 11 SMA di Tulungagung. Maklum, aku termasuk orang yang tidak
senang dengan kesepian suasanan, lebih baik menegur orang dahulu dibanding
diem-diem kemudian mencret di celana (kan bau jadinya). Banyak yang kami
ceritakan di dalam mobil. Sorenya, aku kembali menjemput Mbak Candra yang sudah
selesai berdinas di RSUD dan melanjutkan perbelanjaan ke pasar. Jujur saja, aku
tidak ikut pengajian di rumah yang ketempatan reuni ya karena membantu Mbak Kris
berbelanja ke pasar dan juga menjemput salah satu tamu reuni dari Cileungsi. Nah,
ini nih yang agak aneh. Selama perjalanan, Mbak Candra melarangku untuk pulang.
Ia berpikir bahwa aku terlalu singkat berada di Lumajang sedangkan rasa rindu
tidak terbendung. Ya mau bagaimana lagi, di Jakarta aku punya kewajiban mencari
nafkah hehehe. Kami sampai rumah dan langsung beristirahat. Ini yang menarik,
aku bertukar pengalaman dengan Mbak Kris, seorang guru Bahasa Indonesia yang
sudah bertahun-tahun mengajar di SMA hingga larut malam.
Hari terakhir, Minggu 27 Desember
2015
Pagi
sebelum surya bangun dari balik singgasananya, aku dan Mbak Candra berjalan ke
pematang sawah untuk melihat keindahan sawah yang di Jakarta iku wis gak ono. Tak lama memang tapi
cukup untuk menghilangkan penat sebelum acara reuni dimulai. Acara reuni
dimulai dengan ziarah makam ke leluhur kami di Lumajang (mbah kandungku).
Setelah sarapan, acaranya dimulai dengan sambutan ketua, tuan rumah, dan
laporan masing-masing koordinator yakni dari Jakarta, Lumajang, Banyuwangi, dan
Yogyakarta. Sayang sekali yang dari Medan, Cirebon dan Gorontalo tidak bisa
hadir jadi masih terasa kurang lengkap. Kami yang masih muda (dibawah 30 tahun)
juga menyempatkan diri untuk mengabadikan momen yang terjadi di tempat reuni
dengan berfoto bersama. Waktu berjalan begitu cepat sehingga tidak terasa bahwa
siang hari aku harus menuju Surabaya lagi untuk naik kereta kembali ke Jakarta.
Apa yang terjadi? Aku dihalang-halangi untuk pulang dari sepupu dan
kepokanakanku. Entah karena apa mereka bisa begitu sayang dengan diriku ini.
Aku pun sayang dengan mereka. Sayang dengan perhatian yang mereka berikan.
Rindu dengan tingkah laku, ucapan, suara, dan canda yang mengisi tiap guratan
di mataku yang sebenarnya tak kuasa menahan sedih. Namun, apa daya kewajiban
sudah menungguku di Jakarta. Sekali lagi tidak akan ada perpisahan jika tidak
ada pertemuan. Bertemu ya pasti akan berpisah. Baik hari ini, esok, lusa, atau
nanti.
Sampai
pada akhirnya aku bergegas menuju Surabaya mengejar ular besi yang akan
membawaku kembali ke Jakarta dengan membawa sekian banyak kerinduan yang pecah
dalam empat hari di kampung halaman. Mudik itu hanya untuk mengingatkan
kenangan bersama sanak kerabat dan keluarga. Mengapa? Karena kenangan tidak
akan bisa dibayar dengan nominal berapa pun untuk menghilangkannya. Sampai
bertemu lagi di tahun 2017, Banyuwangi sudah menanti kerinduan dalam batin kita
semua.
Semoga
tulisan ini bisa menjadi kado di akhir tahun 2015 dan di awal tahun 2016. Tidak
ada yang bisa memutus kasih sayang persaudaraan kita semua. Semoga kita semua
senantiasa dalam lindungan Tuhan YME.
Penulis bersama Bayu dan Mbak Chandra
Acara reuni keluarga Sowintanan
Acara reuni keluarga Sowintanan
Penulis bersama Neza, Sukma, Icha, dan Mas Toni
Penulis bersama Neza, Sukma, Icha, dan Mbak Chandra
#
tulisan ini aku persembahkan untuk semua yang sudah mau bercengkrama dengan
diriku di waktu itu #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca yang baik ialah pembaca yang selalu memberikan komentar dalam bentuk kritik dan saran untuk kebaikan blog ini